Tim kuasa hukum Ferdy Sambo, Febri Diansyah menanyakan pendapat ahli hukum pidana dari Universitas Hasanuddin, Said Karim perihal unsur kesengajaan yang harus terpenuhi dalam perkara tindak pidana pembunuhan. Febri menanyakan hal itu saat Said Karim dihadirkan sebagai ahli meringankan untuk terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dalam persidangan, Febri menjelaskan maksud dan tujuan Ferdy Sambo saat memanggil Brigadir J usai pulang dari Magelang.
Kata Febri, kliennya saat itu rencana awalnya hanya ingin melakukan klarifikasi kepada Brigadir J soal kondisi di Magelang yang diduga terjadi kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi. "Bagaimana kalau sebenarnya tidak ada rencana untuk melakukan pembunuhan tapi rencana yang ada adalah untuk melakukan klarifikasi, jadi rencana awalnya adalah melakukan klarifikasi," kata Febri dalam persidangan, Selasa (3/1/2023). "Waktunya pun bukan pada sore hari dalam hal ini, tapi rencananya akan dilakukan pada malam hari, klarifikasi dilakukan pada malam hari," sambungnya.
Namun, dalam perjalanan ingin melakukan klarifikasi, saat itu Ferdy Sambo melihat Brigadir J yang sedang berada tepat di depan gerbang rumah. Seketika kata Febri, kliennya itu merasa emosi dan marah yang memuncak sehingga akhirnya timbul tragedi penembakan. Kepada ahli Said Karim, Febri menanyakan apakah unsur kesengajaan dalam penembakan tersebut dapat terpenuhi atau tidak, sebab dirinya berdalih rencana awal Ferdy Sambo saat itu hanya ingin melakukan klarifikasi bukan membunuh yang menyebabkan orang meninggal dunia.
"Tapi karena ada situasi dalam perjalanan ketika saudara terdakwa Ferdy Sambo melihat Josua di depan gerbang dan kemudian dia (Sambo) menjadi sangat emosional apakah itu bisa disebut tidak memenuhi aspek kesengajaan?" tanya Febri kepada ahli Said Karim. Menjawab pertanyaan itu, Said membeberkan unsur kesengajaan yang bisa dijadikan landasan pemenuhan peristiwa pembunuhan. Kata dia, unsur kesengajaan itu harus sudah muncul sejak awal dari diri pelaku dengan tujuan untuk membuat orang meninggal dunia.
"Kesengajaan tadi sudah saya katakan, bahwa kesengajaan itu harus ada perbuatan nyata dalam kasus pembunuhan, harus ada perbuatan nyata dari pelaku yang menyebabkan terjadinya kematian, ada orang yang meninggal dunia dan kematian ini memang dikehendaki dari pelaku," kata dia. Akan tetapi, jika berlandaskan pada penjelasan dari Febri Diansyah, maka kata Said, kondisi saat itu tidak dapat dikatakan sebagai unsur kesengajaan melakukan pembunuhan. Akan tetapi, Said Karim meyakinkan kalau seluruh perangkat persidangan mempunyai penilaian tersendiri atas kasus yang menjerat Ferdy Sambo tersebut.
"Kalau saya mendengar uraian kronologis dari bapak penasihat hukum ketengahkan kepada saya, saya tidak melihat adanya unsur berencana di situ, karena serta merta langsung berhenti lalu kemudian hendak melakukan klarifikasi, tapi itu lagi lagi semua pihak mempunyai kewenangan untuk menilai masing masing," ujar dia. Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu. Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua. Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana. Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo. Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga. Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.